Lisan adalah penerjemah kata hati. Jikalau hati itu bersih dari kotoran, suci dari kehidupan duniawi, dan memancar darinya cahaya, maka tutur kata dan percakapannya sesuai dengan kata hatinya. Percakapan yang disampaikannya mengeluarkan cahaya yang memancar masuk kedalam telinga orang yang mendengarkan nasihat dan seruannya. Hati orang yang mendengar menjadi tersentuh, dan terbukalah hati nurani mereka untuk mencintai seruan Allah SWT yang menjadi kekasih mereka.
Oleh karena setiap kalimat yang diucapkan oleh seorang Da’i keluar dari hatinya sendiri dengan hidayah dari Allah, maka yang mendengarnya dengan hidayah Allah pula menerima dengan hati nuraninya. Manusia ketika mendengar nasihat dan tutur kata seseorang tidak semata-mata menginginkan ilmu yang akan disampaikan, akan tetapi lebih dari sekedar ilmu, yakni sentuhan dan getaran nurani yang mampu menggerakkan dan menyadarkan jiwa, prilaku, dan pikiran manusia.
Kedudukan seorang Da’i yang mendalam ilmunya, dan tinggi makrifatnya didalam masyarakat diperlukan bagi pembinaan jasmani dan ruhani umat yang mursyid dan arif, mereka (para Da’i) akan mempercepat masuknya sinar Islam kedalam ruhnya umat dengan percikan sinar dari tutur katanya yang langsung menembus hati nurani pendengarannya.
Orang mendengar ucapan melalui hidayah Allah yang disampaikan kepada umat . Karena tutur kata yang dikeluarkan oleh hati juga. Sebaliknya, ucapan yang disampaikan bukan dari cahaya hati, maka ucapan seperti itu akan sampai ditelinga belaka. Diterima oleh telinga kanan dan dikeluarkan melalui telinga kiri, tidak mengendap masuk kedalam hati. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Wasi’, ketika ia ditanya, “Mengapa ucapan orang banyak yang tidak dirasakan oleh kalbu umat, dan tidak juga mencucurkan air mata? Maka ia menjawab, “Mungkin ucapan yang keluar, hanya dari kerongkongan dan hanyalah dari mulut saja, tidak keluar dari nurani dan tidak tulus.” Sebab, apabila tutur kata kita hanya sekedar daya pikir dan imajinasi belaka, maka itu tetap menjadi susunan kata belaka, tidak memberi makna bagi jiwa dan tidak menyentuh hati. Ibarat kalimat yang gersang pula.
Seluruh ucapan seorang Da’i hendaklah ditimbang dan dimasak dengan rencana yang teratur, akan tetapi jangan lupa selalu memohon hidayah dan inayah Allah. Sebelum mengadakan pendekatan dengan manusia, dekatilah terlebih dahulu Allah SWT. Retorika saja tidak mampu mengangkat suara yang kita ucapkan untuk menggugah umat. Metode saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat. Metode saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat dan membuka pintu-pintu harapan untuk mereka.
Jiwa manusia tidak hanya memerlukan seruan dan gerakan, tetapi diperlukan pula sentuhan jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, dan semua itu hanya diperoleh dengan hidayah Allah belaka. (Innal Huda Hudallah) sesungguhnya petunjuk itu adalah petunjuk Allah belaka.
Syaikh Atailah mengingatkan pula: “Siapa yang telah diizinkan Allah untuk menyampaikan ajaran, maka semua ucapannya mudah dipahami oleh orang yang mendengar. Dipahami ibarat-ibaratnya dan dirasakan isyarat-isyaratnya.”
Berbicara untuk menyampaikan dakwah agama Allah, tidak berbekal ilmu agama saja. Atau kepandaian menggunakan dalil dan argumentasi, atau kefasihan mengucapkan ayat dan hadits saja. Seperti sudah diterangkan sebelum ini hidayah dan izin Allah diperlukan agar hati sanubari dan lidah serta tutur kata seorang Da’i atau Mubaligh diberkati oleh Allah. Seorang Mubaligh harus bersungguh-sungguh mendapatkan sinar Allah itu, agar ketika ia mengajar dan mengajak dapat mudah memancar masuk kedalam hati sanubari umat.
Izin Allah itu penting bagi para Da’i dalam menyampaikan ajaran Islam. Selain mendekat kepada Allah dengan kesungguhan jiwa raga, maka tabligh memerlukan pula kecakapan dan keterampilan menyajikan pelajaran. Tentu saja perolehannya dari ketekunannya sang mubaligh mempelajari syariat dan akidah Islam dengan baik, sehingga apa yang disampaikan benar-benar sahih.
Perpaduan cahaya Allah dan izin-Nya, dengan ilmu-ilmu Islam yang dalam dan mumpuni, diikuti dengan keterampilan dan kecakapan menyajikan, akan mempercepat dan mempermudah masuknya cahaya Allah ke dalam jiwa dan hati sanubari umat.
Para Hukama mengingatkan, “Berbicaralah dan sampaikanlah ajaran Islam itu dengan sinar Allah yang terpatri dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi SAW. Dengan pancaran sinar Ilahi dari hati sanubari sang Da’i yang dipantulkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka pembicaraan akan tetap dalam mardatillah untuk mendapat Izzul Islam wal Muslimin. Hindarilah pembicaraan dan penyampaian kesucian Islam dengan ambisi pribadi yang semata-mata mencari keridhaan insani.
Allah Ta’ala mengingatkan para Da’i ketika mereka menyampaikan tabligh, seperti isyarat dalam surat An-Naba’ ayat 38, “Mereka tidak bertutur kata (menyampaikan), kecuali karena izin Allah yang Maha Pemurah, dengan ucapan-ucapan yang benar.”
Izin Allah bagi manusia yang menyampaikan seruan Islam, sesuai dengan kedudukan Islam sebagai wahyu Allah untuk menjadi pedoman hidup manusia, dunia dan akhirat. Terutama ilmu yang berkaitan dengan hakikat hidup manusia, (hakikat hidup didunia dan hakikat hidup di akhirat).
Syaikh Atailah mengingatkan kembali hal ini: “Sering terjadi ilmu hakikat itu nampak pudar cahayanya, apabila Allah Ta’ala belum mengizinkan untuk melahirkan (menyampaikan).”
Memang ilmu hakikat itu, tidak setiap orang dapat mempelajari apalagi menyampaikan. Ilmu hakikat adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan rahasia ketuhanan (akidah Islam). Walaupun seorang hamba telah mempelajari dengan mendalam, akan tetapi belum mampu ia mengamalkannya, maka ia belum boleh mengajarkannya. Sebab kaitannya yang erat dengan sifat-sifat Allah yang sempurna dan suci. Cahaya ilmu hakikat didalam pikiran orang-orang yang belum memahami dan belum mengamalkannya, masih nampak pudar cahayanya, masih samar-samar kematangannya, sehingga belum sempurna diajarkan kepada umat.
Ilmu hakikat itu adalah ilmu tua, Sangat berkaitan erat dengan usia seorang hamba. Makin tinggi usia seseorang, makin matang ia menerima dan menyampaikan ilmu hakikat ini. Kematangan berpikir pada usia lanjut yang produktif sangat berbobot ketika menyampaikan ajaran Islam yang berhubungan dengan hakikat. Sebab, pengalaman rohani seseorang Da’i sangat berarti bagi umat ketika mendapat penjelasan hakikat ke-Tuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi hakikat Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW ., bagaimanapun sulitnya memahami dan menjelaskan hakikat atau ilmu hakikat itu, dia tetap megacu kepada sumbernya yang asli, sehingga tdak sulit dicari asal dan dasarnya, bagi orang awam dan bagi mereka yang ingin memperdalam dengan murni ilmu hakikat yang sebenarnya.
Hukama’ mengatakan, “Orang harus terlebih dahulu memenuhi dirinya dengan makrifat. Dengan demikian barulah memahami ilmu hakikat, dan akan nampak lebih jelas baginya. Para Waliyullah selalu memperdalam makrifatnya dan setelah itu barulah ia melangkah kepada hakikat.
Selanjutnya Syaikh Atailah menggambarkan, “Ibarat-ibarat yang mereka sampaikan atau ajarkan, ada kalanya disampaikan karena luapan perasaan dari dalam hati nurani, atau bertujuan untuk memberi petunjuk bagi murid. Yang pertama untuk orang yang sedang menempuh pelajaran, kedua untuk orang yang telah matang benar ilmu hakikatnya.”
Disampaikan dengan luapan perasaan, maksudnya ialah dengan kesungguhan dan keyakinan akan ilmu yang dimilikinya yang berasal dari sumber Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ucapan yang tidak keluar dari luapan perasaan, sulit diterima oleh perasaan dan hati nurani umat. Demikian juga orang yang telah memperoleh ilmu hakikat hendaklah menyampaikan ajaran Islam itu dengan niat untuk memberi petunjuk dan hidayah Allah dan Ittiba’ kepada Nabi SAW.
Untuk sampai kepada hakikat, manusia secara bertahap hendaklah mempelajari dengan seksama hukum syariat. Sebelum mencapai makrifat, manusia harus melaui jalan tariqat, dari makrifat inilah kemudian mendaki kepada hakikat.
Ilmu yang berkaitan dengan syariat, tariqat, makrifat dan hakikat, tercantum dalam sumber aslinya yaitu AL-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Untuk mengetahui dan memahami dua sumber ini para murid atau orang yang sedang mendalami Islam paling tidak menguasai ilmu alat yang akan memberi petunjuk memahami sumber ilmu yang dimaksud.
Untuk tidak mengacaukan pikiran manusia, hendaklah ia memepelajari Al-Qur’an dan Hadits, sebagai ilmu Islam dari guru-guru atau Syaikh yang mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar