"SEBUAH PUSAT KONSULTASI METAFISIKA YANG BERTUJUAN UNTUK MEMBANTU SEMUA ORANG YANG MEMILIKI MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN ALAM METAFISIKA".
METAFISIKA CENTRE
( Selamat datang di pusat konsultasi metafisika, InsyaALLOH kami akan membantu segala permasalahan anda yang berhubungan dengan dimensi alam metafisika )
Menampilkan 9 dari 19 entri terbaru dari Mei 2010. Tampilkan entri lawas
SABTU, 15 MEI 2010
Menghadirkan Roh Roh
Ada suatu pertanyaan,
Apakah benar apa yang dipraktekan orang, yaitu memanggil roh roh melalui keranjang atau pulpen (Jailangkung), kemudian jailangkung itu dapat menulis?. Apakah dengan demikian roh roh itu telah hadir? Apakah hal itu benar? Apa yang menyebabkan keranjang itu bergerak dan pulpen dapat menulis? Siapa sebenarnya yang melakukan jawaban atas pertanyaan itu? Apakah yang melakukan itu roh roh orang yang sudah meninggal, jin atau lainnya? jika benar, apa boleh roh roh itu dipanggil dan ditanya mengenai hal hal yang gaib, dimintai keterangan dan sebagainya?
Tidak dapat diragukan lagi mengenai kenyatan adanya hal hal yang aneh, misalnya bergeraknya keranjang, menulisnya pulpen dan dijawabnya pertanyaan pertanyaan itu, ada yang benar dan ada yang salah.
Semua itu tidak dapat diingkari, tetapi untuk menentukan siapa sebenarnya yang melakukan hal itu (yang menjawab pertanyaan), sukar sekali untuk menjawab. Berdasarkan hukum agama dan pikiranpun sukar untuk menjawab, karena hal itu tidak dapat disaksikan dengan pancaindera dan termasuk perkara yang gaib pula.
Kami percaya dan beriman bahwa di alam ini ada kekuatan yang tidak dapat dilihat dengan indera.
Mengenai hal tersebut dapat kami terangkan sebagai berikut :
1. Alam Roh.
Roh roh orang yang sudah meninggal itu tetap saja ada, tidak fana, sebagaimana jasmaninya. Roh roh itu adakalanya dalam keadaan senang dan adakalanya dalam keadaan tersiksa. Hal itu telah ditentukan dalam Al_Quran.
Firman Alloh SWT :
Walaa tahsabanna alladziina qutiluu fii sabiili allaahi amwaatan bal ahyaaun 'inda rabbihim yurzaquuna
[Q.s. Ali Imran :169] Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Farihiina bimaa aataahumu allaahu min fadhlihi wayastabsyiruuna bialladziina lam yalhaquu bihim min khalfihim allaa khawfun 'alayhim walaa hum yahzanuuna
[Q.s. Ali Imran :170] Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Keterangan ini tentu mengenai roh roh mereka yang tetap hidup dan tidak mengalami kefanaan.
Nabi SAW telah menerangkan mengenai keadaan orang orang yang telah meninggal, bahwa mereka telah mendengar suara alas kaki yang dipakai oleh orang orang yang mengantarkannya ke kubur. Nabi SAW juga menganjurkan kepada kita, jika masuk ke pekuburan supaya memberi salam kepada orang orang yang berada di kubur (ahli kubur), ini berarti mereka mendengar dan paham apa yang kita ucapakan. Jika mereka tidak mendengar, tentu Nabi SAW tidak akan menganjurkan memberi salam.
Dalam hal ini telah diterangkan dalam buku Arruh oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut:
Para salaf membenarkan, dan tidak satupun mengingkari mengenai hal itu berdasarkan dalil dalil yang kuat dari mereka, bahwa orang yang telah meninggal mengetahui dan gembira bila ada yang mengunjunginya.
Dikatakan juga adanya dalil yang lebih dari seratus,dan Alloh telah memerintahkan secara langsung atas roh itu untuk kembali, masuk dan keluar. Di antara dalil dalil itu ada yang menunjukkan bahwa roh roh dapat naik dan turun ke langit, dapat menerima dan menahan sesuatu, dapat berbicara dan sujud, dibukanya pintu pintu langit baginya dan sebagainya.
firman Alloh SWT :
Yaa ayyatuhaa alnnafsu almuthma-innatu
[Q.s. Al-Fajr:27] Hai jiwa yang tenang.
Irji'ii ilaa rabbiki raadiyatan mardhiyyatan
[Q.s. Al-fajr:28] Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Faudkhulii fii 'ibaadii
[Q.s. Al-fajr:29] Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
Waudkhulii jannatii
[Q.s. Al-fajr:30] masuklah ke dalam syurga-Ku.
2. Alam Malaikat
Mereka diciptakan dari Cahaya(Nur), mereka tidak dapat dilihat dan mereka mempunyai tugas bermacam macam. Di antaranya ialah memelihara manusia, menulis semua perbuatannya, dan mengambil roh ketika meninggal.
Firman Alloh SWT :
Wa-inna 'alaykum lahaafizhiina
[Q.s. Al-Infithar:10] Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),
Kiraaman kaatibiina
[Q.s. Al-Infithar:11] yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),
Alam malaikat ini alam yang murni, mereka diciptakan untuk taat kepada Alloh, mereka secara terus menerus melakukan (mengerjakan) zikir dan bertasbih, baik diwaktu malam maupun siang. Mereka tidak dapat melakukan maksiat dan apa yang diperintahkan oleh Alloh, senantiasa mereka kerjakan.
3. Alam Jin
Alam Jin ini juga alam gaib, tetapi para jin ini mempunyai tanggung jawab di bumi sama seperti manusia. Jin tidak dapat dilihat pula, tetapi mereka dapat melihat manusia, mereka ada yang beragama Islam dan ada pula yang kafir. Jin jin kafir inilah yang menjadi setan dan termasuk keturunan iblis yang menjadi pembantunya.
Yaa ma'syara aljinni waal-insi ini istatha'tum an tanfudzuu min aqthaari alssamaawaati waal-ardhi faunfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaanin
[Q.s. Ar-Rahman:33] Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
jika kami sudah mengetahui ada tiga alam yang terdiri dari makhluk yang tidak tampak di alam roh yang tersembunyi, maka siapakah yang dipanggil dan menggerakan keranjang atau pulpen tersebut?
Tidak dapat kami katakan bahwa roh roh itu adalah roh orang orang yang telah meninggal, yang kemarin masih berada di antara kita. Karena banyaknya roh yang dipanggil dan yang hadir mungurus hal hal yang tidak ada hubungannya dengan dia, serta menerangkan hal hal yang tidak diketahui dan tidak benar.
Ini suatu pekerjaan yang bukan tugas orang yang telah meninggal, karena orang yang telah meninggal itu berada di alam Barzah. Yang mungkin dia berada di neraka sedang mendapat azab atau berada di tempat sementara di surga dalam keadaan senang. Sebagaimana diterangkan dalam ayat ayat suci Al-Quran.
Dalam hal ini, tidak pernah ada berita dari roh roh orang kafir yang hadir itu mengenai azab dan orang yang berbuat maksiat. Padahal orang orang kafir tersebut menjelang matinya saja sudah merasakan azab-Nya.
Demikianlah keadaan dan tingkat roh roh setelah meninggal dunia. Jika hal hal yang tersembunyi, yang dipanggil, atau yang hadir bukan roh orang yang telah meninggal, kami percaya bahwa roh itu bukan pula roh para malaikat yang mempunyai sifat yang mulia dan taat, serta benar. sedangkan yang memanggil roh itu mengakui bahwa roh itu adalah roh orang yang telah meninggal. Keterangan tersebut bertentangan antara yang satu dengan lainnya, banyak yang tidak benar. Maka, tidak ada lagi kekuatan lain yang tersembunyi, kecuali dari alam jin dan setan, kekuatan ini dapat bergerak luas di segala bidang, misalnya dengan terbiasa mengatakan yang tidak benar dan sebagainya.
Adanya jin dan setan adalah sesuatu yang dibenarkan, dan tiap tiap manusia mempunyai Qorin (teman) setan dan juga Qorin malaikat.
Terakhir aku yakin roh roh yang hadir dan menyatakan bahwa mereka adalah roh roh orang orang yang mati dari keluarga dan sahabat sahabat kami. Hal itu tidak benar, mereka itu adalah setan setan dan kawan dari jin yang berdusta dan berkata tidak benar. Syukur Alhamdulillah, aku telah sadar.................
Oleh
Agus Sutikno, SH
http://www.SketsaBisnis.com/?id=Mastikno
KAMIS, 13 MEI 2010
Istilah Istilah Dalam Tenaga Dalam
Cakra : adalah pusat energi yang merupakan tubuh bioplasmik yang sangat penting yang berfungsi menyerap, mencerna, dan mendistribusikan prana ke seluruh tubuh serta bertanggung jawab atas berfungsinya seluruh tubuh fisik dan organ - organ secara benar. 7 Cakra mayor yaitu Cakra Mahkota, Cakra Ajna, Cakra Hidung, Cakra Tenggorokan, Cakra Jantung, Cakra Solar Plexus, Cakra Kundalini.
Prana (India), Chi(China), Ki (Jepang), Ruah (Yahudi) : energi vital, tenaga hidup untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan tubuh, yang mana salah satu sumbernya adalah matahari (dengan jalan berjemur di bawah sinar matahari) dan udara (cara memperolehnya dengan cara diserap oleh paru - paru melalui pusat cakra dan pernafasan yang berirama lambat dan dalam).
Inti Bumi : bumi juga merupakan salah satu sumber prana yang bisa diserap oleh tubuh melalui telapak kaki dengan berjalan tanpa alas kaki, berdasarkan QS. Al Mukminuun Ayat 12 yang artinya Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (inti bumi).
Tubuh Bioplasmik : tubuh yang tidak dapat dilihat mata awam tapi bentuk sama seperti tubuh fisik yang merupakan energi bercahaya yang berpendar keluar (5 cm), dan saling berhubungan dengan tubuh fisik sehingga jika tubuh bioplasmik sakit maka tubuh fisik juga sakit,melalui tubuh bioplasmik ini prana diserap dan disalurkan keseluruh tubuh.
Dzikirullah : (ingat kepada Allah) merupakan suatu bentuk kalimat,tingkah laku, tindakan, yang dilakukan manusia dengan tujuan untuk mendekatkan diri dan mengharap ridlo dari Allah SWT kapanpun dan dimanapun berada.
Oleh
Agus Sutikno, SH
SENIN, 10 MEI 2010
RENUNGAN FITHRAH MANUSIA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji kepada-Nya selalu. Sumber Segala Yang Wujud di milyunan alam. Alam material maupun immaterial. Lahiriah maupun ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Sumber segenap Cahaya Rahmat dan Kesempurnaan. Yang Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dari keseluruhannya, dari sebagiannya maupun dari zarrah-zarrah terkecilnya maupun yang ada di balik itu semua.
Puji kepada-Nya selalu. Yang kekuatan-Nya mengaliri Segala. Sehingga tampak langit-langit material tanpa tiang, dan adakah pula tiang yang terlihat bagi langit-langit Ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Yang memancarkan dari Wujud-Nya yang Kekal Mewangi, Ruh ke dalam tubuh-tubuh mahalemah dari tanah dan air yang nista ini. Sehingga segala yang ada di tujuh lapisan langit keberadaan ini senantiasa menyampaikan Shawalat dan Salam kepada Junjungan Kita, Insan-Kamil, Manusia Sempurna, Muhammad (SAW), dan betapa para malaikat harus bersujud kepada Kakek Kita Yang Mulia, Nabi Adam (a.s).
Puji kepada-Nya selalu. Yang memuliakan Bani Adam dengan Amanah Suci. Yang tidak mampu ditanggung oleh langit dan bumi…Yang menunjukkan jalan-Nya kepada Bani Adam untuk melaksanakan amanah ini dengan Nabi dan Risalah Yang Terang, dan dengan hati yang bagaikan cermin jernih menangkap Cahaya dari para Nabi dan Wali-Wali-Nya.
Maha Suci Nama-Mu, Duhai Tuhan Pujaan hati-ku. Duhai Tuhan Sari Cinta-ku. Duhai Tuhan segala ruang dan segala waktu. Duhai Tuhan segala imajinasi dan yang nyata.
Maha Suci Nama-Mu, dari apa yang aku sifatkan. Karena sungguh seluruh keterbatasan diriku yang mahalemah ini niscaya mensifatkan sesuatu yang terbatas, dan Maha Suci Engkau. Engkau-lah Wujud Sempurna Tiada Berbatas. Lautan Agung Kesempurnaan Tiada Tara Yang Tunggal dalam KesendirianMu Yang Abadi.
Pena Penciptaan menorehkan satu tujuan yang jelas bagi pencipataan jin dan manusia. Beribadah kepada-Nya. Beribadah kepada Yang Maha Agung. Beribadah dengan sepenuh hakikat diri kita kepada-Nya. Tuhan telah menciptakan jin dan manusia kita untuk beribadah kepada-Nya.
Maka dalam diri manusia ada sesuatu hasrat abadi untuk mengagungkan sesuatu dan menuhankannya. Memuliakan sesuatu dan memujinya tiada berbatas. Menalikan dirinya pada sesuatu yang kokoh dan menggantungkan nasibnya pada sesuatu ini. Ini adalah beberapa dari unsur-unsur yang substansial dalam ibadah. Beribadah kepada Tuhan adalah substansial dan essensial dalam diri manusia. Tidak aksidental dan additional. Beribadah kepada Tuhan adalah keniscayaan penciptaan suatu kemestian yang dilakukan manusia bukan keharusan.
Karena itu jika hati manusia di suatu saat tidak mengakui Tuhan Allah (SWT), Tuhan Yang Sebenarnya, maka pasti hatinya tertaut pada tuhan-tuhan selain Allah. Atau manakala hati sedang melupakan Tuhan, pasti ada tuhan-tuhan lain yang diingat selain Allah. Apakah itu harga. Apakah itu kedudukan. Apakah itu anak. Apakah itu istri. Apakah itu hasil karya. Apakah itu partai. Apakah itu mobil. Apakah itu keinginan-keinginan nafsunya yang lain.
Bayangkan ada seorang Romeo yang tengah merindukan Julietnya yang tak kunjung tiba. Lentik alis dan kecantikan Juliet yang tiada banding tentu membayanginya setiap saat setiap waktu. Mengganggu hati yang tentram. Menggundahkan sukma. Mencairkan wadah-wadah airmata hati.
Betapa mungkin seorang beriman melupakan TuhanNya, sedang ia menyaksikan kebesaran TuhanNya setiap saat dan setiap waktu di seluruh ufuk dan cakrawala alam maupun jiwa. Dan ia tahu dengan sebenar-benarnya pengetahuan bahwa Tuhan-lah sumber seluruh kecantikan wanita yang tercantik maupun bidadari surgawi, sumber keindahan semua keindahan, sumbe kasih semua yang mengasihi. Ia tahu bahwa Ia lah yang Maha Indah, Maha Agung, Maha Cantik (Al-Jamiil), Maha Kasih,….Betapa mungkin seorang berimana menegasikan satu interval pendek waktu hidupnya dengan hati yang lupa kepadaNya?
Yaa, sungguh hanya dengan berdzikir pada Allah-lah, hati menjadi tentram. Sebagaimana bayi dicipta untuk merintih kehausan, maka tatkala ia menemukan tetek ibunya kembalilah ia dalam ketentraman. Begitu pula fitrah manusia senantiasa merindukan Nama-Nama Allah.
Marilah kita berdoa bersama;
Yaa Allah, sungguh kami adalah hambamu yang dhoif, hina dan terhina, yang fakir dan miskin dihadapanMu.
Yaa Allah, duhai Tuanku, duhai Kecintaanku, dan DambaanKu
Sungguh hati kami telah bertabir
Dan jiwa kami berkekurangan
dan Akal kami tertipu
dan hawa nafsu kami telah menipu
dan ketaatanku kepadaMu sedikit
dan kemaksiatanku banyak
dan kini lisanku mengakui semua dosaku ini
Maka bagaimanakah dengan seluruh keadaanku ini,
Duhai Yang Menutupi Semua Keburukan
Dan Duhai Yang Mengetahui Semua Yang Ghaib
Dan Duhai Yang Menyingkapkan Semua Kesulitan.
Ampunilah dosa-dosa ku Seluruhnya
Dengan kehormatan Muhammad dan Keluarga Muhammad
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Dengan rahmatMu, Duhai Yang Paling Pengasih dari semua yang pengasih.
Allahumma sholli ‘ala Muhammadin, wa aali Muhammad.
RENUNGAN TAUHID
Langit dan mentari
siang berganti malam
kulit dan jauhari
citra buhulan terang
Hud-Hud Rahmaniyyah
1. Syarah kalimat “langit dan mentari”
Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.
Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi, menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah energi matahari.
Adapun mentari dalam sya’ir di atas memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?
Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.
Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal darimana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan ketiadaannya mustahil.
Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.
Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik. Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek di depan cermin.
Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan sebab pertama.
Sebab pertama itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagianbagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagai.
Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari sya’ir di atas.
“Langit dan Mentari”
Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah, bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut, terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada. Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan “Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali
Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak, pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas. Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.
2. Syarah kalimat “siang berganti malam”
Adapun mengapa terjadi siang dan malam? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan rendah? Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?
Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme? Mengapa ada kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun halhal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis secara subyektif?
Apakah benar terdapat kebaikan dan kejahatan? Kebenaran dan kesesatan?
Prinsip kausalitas menyatakan bahwa suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu yang secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara obyektif terbagi. Karena jika akibat yang ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.
Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.
Dengan adanya dualisme-dualisme dalam konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung pengertian “duadua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah) itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia hanya ada dalam alam imajinasi.
Ada sebuah perumpamaan yang amat mengesankan dalam Kuliah YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili, – seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang beranggotakan para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma, prisma akan menguraikannya menjadi cahaya multi-warna (polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan nuansa merah, ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian pula Wujud Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang “memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal Maha Mutlak. Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya hasil uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan bahwa “Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.
Siang berganti malam, menunjukkan adanya gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan bahwa gerak sebagai gerak, -motion as motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak, alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam, yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi. Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan sesungguhnya Semua ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif.
Maha Suci Ia yang menciptakan Siang dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun selain Dia! Dia!
3. Syarah kalimat “kulit dan jauhari”
Adapun “kulit” adalah sesuatu yang langsung terlihat. Dan jauhari adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”. Dilihat dengan mata, sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit jambu ini tidak terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu itu jambu. Tapi jika terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas kulitnya maka ia tetap disebut jambu. Itulah jauhar jambu.
Sesuatu di kenali tidak dengan kulitnya tapi dengan jauharnya. Penampakan luar yang terlihat tidaklah menunjikkan sesuatu tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan “kesesuatuan” dari sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari sesuatu.
Jika kita memandang sesuatu sebagai sesuatu tersebut, maka jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana jika kita memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat pisang yang ada di dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat “luar” ataupun lebih tegas lagi bersifat “inderawai” tidaklah penting selama hal itu tidak mempunyai relasi dengan “kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika anda melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya secara estetis indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi pandanglah dari segi “keefektifan penembakan, pengejaran sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari “kesesuatuaan” suatu rudal.
Dan adalah suatu pertanyaan maha penting sebagai berikut. Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah Jauhari dari Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari Segala Sesuatu ini?”.
4. Syarah kalimat “citra buhulan Terang”
Citra artinya bayangan atau imajinasi sesungguhnya imajinasi tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan oleh cermin fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang kita lihat selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Kumitir sebagai “kumitir” dengan keapaan atau batasan-batasannya sebagai “kumitir” yang Anda lihat saat ini adalah khayalan. Artinya dilihat dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “kumitir” adalah suatu khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa secara “obyektif praktis”, “kumitir” tidak ada. Karena sebenarnya alam “obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu alam subyektif yang memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.
Pandang Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa? Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara Obyektif, dan selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala sesuatu bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika Segala Sesuatu tersebut tidak memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini tidak mungkin.
Jadi segala sesuatu yang tampak di mata ataupun tersirat di hati ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran Cahaya Wujud Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam ketiadaan mutlak (Al-;adam Al-muthlaw, -atau nothingness). Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan berbagai “keberadaan” wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut menjadi cermin dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul (terikat) dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citracitra. Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-Citra adalah buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.
Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian apapun yang tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini yang dapat diidentikkan dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang masih mungkin dicerap oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan Tuhan. Inilah yang mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,- Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini yang identik dengan Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif siapapun yang mampu mencerap pengertian yang sempurna tentang Ia, Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“ atau dengan kalimat “Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah kubayangkan”.
Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun yang dituliskan dalam makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi makalah ini adalah hiburan lepasa senja yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri di atas kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara apapun kecuali dengan “PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”. Dan kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi kita semua.
MINGGU, 09 MEI 2010
Membedakan magis dan ilmu pengetahuan
Assalamu ”alaikum
Pak Ustadz, melanjuti bahasan Pak Ustadz tentang energi, saya masih bingung cara membedakan antara satu kekuatan (energi, tenaga dalam, kekuatan metafisik, dll) yang datang dari jin/setan dan melalui ilmu pengetahuan. Mungkin saat Nabi masih hidup, jika beliau melakukan hal-hal diluar akal seperti dapat menghitung pintu masjid di madinah, menyembuhkan mata sahabatnya Ali bin Abi Talib dst itu pasti bukan dari jin atau setan. Karena Nabi terpelihara dari hal yang demikian. Tapi apakah ada jaminan Allah bahwa tidak ada orang yang mampu melakukan hal-hal diluar akal selain Nabi dengan sengaja? (bukan mukzijat yang diberikan oleh para wali Allahyangdatangnya hanya sewaktu-waktu).
Dari salah satu media cetak yang saya baca pernah diberitakan bahwa di India (CMIIW) pernah ada kompetisi yoga dengan parameter meringankan tubuh. Pemenangnya adalah orang yang mampu melayangkan tubuhnya sejauh 30 cm dari tanah dalam kondisi bersila. Dengan demikian apakah dapat kita katakan bahwa orang itu menggunakan kekuatan jin/setan?
Dalam acara “Reply”s” banyak orang-orang yang mampu tampil unik seperti mampu bertahan berjam-jam di bawah suhu minus sekian derajat, berjalan di antara tumpukan kotak yang hanya dijembatani sehelai kertas A4, memecahkan benda keras, menghidupkan alat-alat elektronik semacam lampu bohlam, bergelut/bercanda dengan binatang buas dst. Dan ketika diwawancarai apa kunci keberhasilan mereka, jawaban yang diberikan hampir sama semua: Memaksimalkan potensi diri. Salah satunya denganmemanfaatkan hawa panas dalam tubuh dan mengayakannya menjadi kekuatan yang mampu memecahkan benda keras, adaptasi suhu tubuh, meringankan massa tubuh, membentuk energi listrik, bahkan meningkatkan sel pada organ tubuh lain seperti sel otak utk peningkatan konsentrasi, mata shg bisa lihat benda jauh dst.
Dengan latihan meningkatkan kepekaan, teman saya mampu mengaktifkan sel pituitary di otak sehingga dia bisa melihat “sesuatu” yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata.
Sebagian dari semua keanehan itu ada yang sudah terbukti dengan ilmu pengetahuan seperti adanya kamera yang dapat melihat aura dst dan sebagiannya masih jadi Pekerjaan Rumah para ilmuwan.
Berkaca dari hal ini, dapatkan kita mengatakan bahwa semua keanehan yang bersifat diluar akal itu berasal dari jin/setan?
Wassalamu ”alaikum Wr Wb.
A. Fadholi
jawaban
Assalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Allah SWT memberikan anugerah kepada manusia dan jin. Manusia diberi tubuh yang sempurna, termasuk otak yang bisa digunakan untuk berpikir dan menganalisa. Otak ini nantinya bisa diasah untuk bisa menangkap ilham, berupa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang menjadi ciri khas manusia semakin hari semakin berkembang, bahkan sampai melewati apa yang dahulu belum pernah ditemukan. Seperti ditemukannya listrik, mesin uap, kapal terbang, komputer dan seterusnya.
Sedangkan jin atau syetan tidak diberi pisik yang baik, juga tanpa kemampuan inteligensia seperti manusia dalam berteknologi. Mereka tidak pernah mengembangkan teknologi. Namun di sisi lain, Allah memberi mereka kemampuan ghaib, kalau dilihat dari sudut pandang manusia. Sehingga mereka bisa menghilang, tidak terkena hukum gravitasi, bisa menembus tembok, bahkan bisa masuk ke tubuh dan otak manusia. Mereka juga bisa melakukan sihir yang sebenarnya diharamkan Allah SWT.
Selain jin dan manusia, sebenarnya ada malaikat. Namun tidak kita bicarakan, karena malaikat tidak diberi kebebasan dalam bertindak. Sehingga tidak harus mempertanggung-jawabkan semua tindakannya. ”Kekuatan” malaikat tidak bisa dipakai oleh manusia dan jin. Sebab malaikat adalah pelaksana semua perintah Allah SWT.
Hal ini berbeda dengan jin dan manusia, di mana mereka diberi kebebasan tapi harus mempertanggung-jawabkannya. Sekaligus diberi ”kekuatan” masing-masing. Manusia dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologinya, sedangkan jin atau syetan dengan kekuatan ghaibnya.
Iptek dan ilmu ghaibjin syetan adalah dua hal yang sangat berbeda. Iptek itu berangkat dari ilham yang Allah SWT berikat kepada manusia, sehingga manusia bisa menciptakan banyak teknologi. Sedangkan sihir syetan, meski pada dasarnya dari Allah SWT juga, namun dalam kerangka yang dimurkai-Nya. Maksudnya Allah SWT hanya mengulur waktu saja, padahal Dia murka bila sihir itu digunakan.
Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terukur dan bisa dijelaskan secara ilmiyah. Mengacu kepada prinsip dasar yang ada dalam ilmu fisika, kimia, biologi, elektrotika dan sejenisnya. Begitu ditemukan formulanya, bisa diproduksi secara massal. Misalnya, energi listrik yang katanya ditemukan oleh Edison. Atau pesawat terbang yang konon ditemukan oleh Wright bersaudara.
Diperbatasan antara iptek dan ilmu ghaib, memang ada wilayah yang oleh sebagian orang dianggap abu-abu. Sebab dari satu sisi kelihatanya seperti iptek, tetapi begitu dibedah lebih dalam, ternyata hanya ilmu ghaib belaka. Dan hal yang sama bisa juga terjadi sebaliknya, kelihatannya seperti ilmu ghaib namun ternyata hanya iptek saja.
Kita bisa ambil contoh teknik olah pisik para pendekar kungfu (wushu) misalnya. Dengan latihan pisik tertentu, tubuh mereka bisa kuat sehinggadigebuk pakai besi seolah tidak mempan. Kadang latihan keras itu bisa membuat mereka mampu melakukan push-up ribuan kali, atau bisa menahan nafas bermenit-menit.
Semua itu kelihatannya ilmu ghaib, tetapi kalau kita telusuri, ternyata memang masih masuk akal dan bisa dilatih.
Namun ada lagi yang lainnya. Meski kelihatannya iptek, tetapi tidak bisa dibuktikan. Misalnya ada jenis ilmu bela diri tertentu sehingga seseorang tidak mempan dibakar, tidak mempan dibacok, atau bisa meringankan tubuh sehingga bisa terbang di udara, atau bisa makan beling dan pecahan kaca tanpa luka.
Kalau sudah sampai titik ini, kita kesulitan untuk menjelaskan secara fisika, kimia atau biologi. Sampai hari ini belum ada teknologi yang bisa menjelaskan alasan ilmiyah semua kemampuan ala debus itu.
Berarti kita patut mencurigainya sebagai sesuatu yang tidak bisa diterangkan secara iptek dan sains modern. Dan dalam batas itu, pilihan kita tidak ada lagi selain semua itu bagian dari ilmu ghaib.
Wali dan Karamahnya
Sebenarnya masih ada satu celah lagi yang masih mungkin dijadikan alternatif alasan. Yaitu karamah para wali yang terkadang memang termasuk hal yang ghaib.
Adanya karamah dari wali memang tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari kejadian ghaib namun hukumnya dibenarkan secara aqidah. Maksudnya, karamah dari seorang wali itu memang ada.
Namun karamah ini sangat berbeda dengan sihir dan kekuatan ghaib dari jin. Yang paling mendasar adalah bahwa sang wali tidak pernah merasa dirinya wali, kecuali dia adalah orang yang menjalankan seluruh syariah Islam 100% dalam diri dan keluarganya. Dan kejadian aneh yang dialaminya sama sekali di luar kemampuan dan kesengajaan dirinya.
Misalnya, ketika para shahabat nabi SAW bisa berjalan di atas air sungai Dajlah yang luas membentang dan deras arusnya, tidak ada satu pun yang sebelumnya punya kemampuan itu. Dan tidak ada satu pun yang mampu mengulanginya lagi. Tidak ada tombol yang bisa dipencet untuk mengaktifkan kekuatan ghaibnya. Semua itu terjadi begitu saja, sebagai pertolongan Allah SWT kepada si wali yang memang hamba yang shalih.
Sedangkan kekuatan ghaib versi jin, syetan dan dukun merupakan menu dan fasiltas yang bisa digunakan kapan saja, untuk keperluan apa saja. Terutama untuk hal yang jahat dan maksiat di hadapan Allah. Dan bisa dimiliki oleh siapa pun termasuk para penjahat, ahli maksiat, budak syetan dan juga para dukun.
Mendapatkannya cukup dengan membelinya saja. Uangnya bukan dollar atau rupiah, tetapi iman di dada. Jin dan syetan akan meminta hal yang paling berharga, yaitu seseorang menjadi syirik, kafir, maksiat atau bahkan durhaka. Tujuannya akhirnya hanya satu, yaitu bagaimana caranya agar klien mereka bisa menemani mereka di neraka.
Tentu saja semua itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga menarik, tidak mencurigakan dan nampak aman. Padahal di balik semua itu, ada masalah syirik, kufur dan durhaka kepada Allah SWT. Semua berlangsung begitu saja tanpa disadari oleh sang klien.
Kesimpulan:
Memang tidak mudah untuk membuat alat ukur yang bisa membedakan keduanya, karena jin dan syetan memang telah mengemasnya dengan rapi dan serius. Ditanggung pasti sulit untuk dibedakan.
Namun bukan berarti mustahil sama sekali. Misalnya, kita bisa lakukan test dengan logika sains modern. Bila sebuah ”keajaiban” bisa dijelaskan secara sains, lalu bisa diterapkan dan di produksi massal, maka hal itu benar-benar ilmiyah dan bukan kekuatan ghaib.
Maksudnya, kalau yoga meringankan tubuh itu diklaim sebagai bukan hal ghaib tetapi fenomena teknologi, bisakah dikembangkan agar tidak ada lagi pesawat terbang yang jatuh? Dengan asumsibahwa semua pilot dan kru pesawat itu mampu meringankan diri dan menahan beban pesawat. Bisakah dimanfaatkan untuk para pekerja baguan pencakar langit, atau pengganti katrol dan seterusnya?
Kalau jawabnya tidak bisa, maka karakternya sebagai fenomena teknologi tidak terpenuhi. Sebab mesin uap primitif versi Jamet Watt itu kemudian bisa dikembangkan menjadi lokomotif, mobil danpembangkit listrik.
Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
HAKIKAT BENDA KERAMAT
Benda-benda keramat dalam istilah bahasa Arab disebut Tamimah.Definisi benda-benda keramat adalah benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan ghoib yang dapat membantu menyelesaikan segala persoalan hidup.Benda-benda keramat banyak sekali bentuk dan jenisnya seperti : Keris,pedang,tombak,badik,batu mulia,batu kristal,besi kuning,jenglot (dipercaya sebagai tubuh orang sakti yang mati) dan lain sebagainya.
Namun benda-benda keramat tidak saja berbentuk benda mati makhluk hidup pun ada yang dikeramatkan seperti : kerbau putih,burung pelatuk bawang,ayam cemani, dan lain sebagainya.
Agar tuahnya tetap ada maka biasanya dilakukan penjamasan atau ritual perawatan dan pembersihan.Ritual jamasan pusaka merupakan salah satu momen penting bagi seseorang yang memiliki benda-benda pusaka. Dalam ritual tersebut, barang-barang pusaka seperti keris, tombak, pedang, dan benda-benda lain yang dianggap berkekuatan di luar nalar dibersihkan dengan minyak wangi tertentu.
Seorang kolektor keris dan benda-benda keramat St Sukirno menjelaskan, tujuan jamasan tersebut agar bebas dari sengkala (marabahaya) karena setiap pusaka diakui memiliki kekuatan di luar nalar yang dapat membahayakan pemiliknya jika tidak dirawat.Pada masa kini benda-benda keramat oleh para ahli syirik itu diilmiahkan dengan istilah-istilah “keren” seperti “radiasi positif,medan energi” agar dapat diterima oleh masyarakat banyak.
Dari semua penjabaran diatas sesungguhnya semua benda-benda keramat itu seperti mengkultuskan atau membawa keris,besi kuning,batu akik,batu mulia dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya, jika ia meyakini bahwa benda-benda tersebut sebagai sarana tertolak atau tertangkalnya bala hal itu termasuk syirik akbar dan juga bagi orang yang membawa dan meyakini kekuatannya maka hidupnya tidak akan pernah bisa tenang.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad pula dari Uqbah bin Amir dalam hadits marfu : “Barang siapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya; dan barang siapa menggantungkan wadaah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.” Disebutkan dalam riwayat lain:”Barang siapa menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik”
Imran bin Hushain radiallahu anhu menuturkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan, maka beliau bertanya: “Apakah ini?”Orang itu menjawab: “Penangkal sakit.” Nabi pun bersabda: “Lepaskan itu karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang bisa diterima).
Ketika keris,batu akik diyakini memiliki daya magic karena telah dibuat atau “diisi” oleh empu,dukun atau orang pintar, maka menjadikan akik itu sebagai jimat pembawa keberuntungan berarti telah menjadikannya sebagai sekutu selain Allah.
Batu mulia yang dikeramatkan
Ketika bambu kuning,besi kuning atau potongan tulisan arab yang maknanya tidak jelas diletakkan di atas pintu rumah, agar”si kolor ijo” atau “setan belang” tidak bisa masuk rumah, maka berarti telah mempertuhankan benda-benda keramat itu, dan ini adalah bantuk kesyirikan yang sangat nyata terhadap Allah SWT.
Demikian pula apabila Al-Qur’an Stambul (Al-Qur’an berukuran sangat kecil yang tulisannya tidak bisa dibaca kecuali dengan mikroskop) dijadikan jimat untuk menolak marabahaya, maka pelakunya pun sudah terjerumus pada lingkaran syetan yaitu syirik.
Rasulullah saw bersabda :“Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (sebagai tamimah), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada tamimah itu”. (HR.Imam Ahmad dan at-Tirmizi).
Sedangkan jika mereka yang memakai,mengagungkan dan mengkultuskan benda-benda keramat dengan memujanya (dengan cara dijamas,diberi bunga-bunga) sebagai sarana ikhtiar mendekatkan diri dan meminta pertolongan dari Allah melalui perantara benda-benda keramat itu tetaplah merupakan kesyirikan yang nyata sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى إِنََّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنََّ اللهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar: 3).
Jadi tidak ada alasan sama sekali dalam Islam kita menyimpan,menggunakan,mengagungkan benda-benda keramat karena hukumnya sudah sangat jelas dan jika ada seseorang entah dia kiai,ustadz,paranormal,dukun,romo,Gus-gusan,Ki-kian atau apapun namanya mencoba menghalalkan benda-benda keramat maka dia berada pada kesesatan yang nyata,mereka seseungguhnya syaitan dalam bentuk manusia.
Janganlah kita tertipu dengan cara mereka mencoba mengilmiahkan benda-benda keramat itu yang sering mereka katakan memiliki radiasi positif,energi positif,yoni,tuah dan istilah-istilah lainnya karena sudah jelas hukum dalam syari’ah Islam.
Oleh
Agus Sutikno, SH
BAHAYA HIPNOTISME
Tren baru zaman ini
Pada zaman yang penuh dengan tekanan dan ketegangan ini, banyak orang mencari berbagai macam cara untuk mengatasi tekanan dan ketegangan mereka. Ketika muncul sebuah cara yang mengklaim sebagai cara aman, cara tersebut akan diserbu oleh masyarakat. Salah satu hal yang dianggap sebagai solusi masalah hidup adalah hipnotis.
Saat ini, hipnotis menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup orang kota. Para ahli hipnotis sendiri mengklaim bahwa hipnotis dapat menolong mereka yang ingin kurus, yang ingin berhenti merokok, yang depresi, dan yang terikat oleh narkoba. Hipnotis juga dipakai untuk menghilangkan rasa takut, membangkitkan rasa percaya diri. Jangankan orang awam, beberapa dokter gigi juga memakai hipnotis agar pasien mereka tenang menjalani pengobatan gigi.
Hipnotis dianggap sebagai cara yang aman dan ilmiah dalam menolong masalah-masalah hidup manusia karena hipnotis memakai teknik sugesti. Pasien akan disugesti dan dibawa dalam hipnosis. Dalam kondisi ini, pasien akan diberikan sugesti-sugesti untuk mengatasi persoalan mereka. Misalnya, mereka akan disugesti bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan, atau disugesti bahwa mereka tidak suka makan banyak. Setelah sugesti itu, pasien tidak akan menyukai rokok dan tidak suka makan banyak. Ini akan menolong pasien untuk berhenti merokok dan menjalani diet agar kurus. Hipnotis juga dapat dipelajari secara pribadi dengan melatih konsentrasi dan sugesti diri, yang ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan diri, mengatasi rasa takut, dan mengatasi persoalan-persoalan dosa yang mengikat manusia.
Banyak orang yang juga ikut-ikutan mempelajari hipnotis dan memberi diri dihipnotis untuk mengatasi persoalan-persoalan mereka. Ada juga yang masih ragu-ragu, apakah boleh dihipnotis dan mempelajari hipnotis untuk mengatasi persoalan kita?
Bahaya hipnotis
Walaupun ahli hipnotis membungkus hipnotis sebagai sesuatu yang ilmiah, namun hipnotis bertentangan dengan islam. Hipnotis bertentangan dengan iman islam karena tidak sesuai dengan nilai-nilai islam dalam mengatasi persoalan dan karena hipnotis mengandung sejumlah bahaya. Ada beberapa bahaya mempelajari hipnotis maupun dihipnotis.
1. Hipnotis dapat membuka pikiran untuk memercayai apa saja, termasuk dusta. Seorang yang terhipnotis dapat disugestikan sebuah kebohongan dan dia akan memegang kebohongan itu sebagai sebuah kebenaran. Sugesti yang diberikan bukanlah kebenaran atau fakta mengenai keadaan pasien. Pasien yang memang suka rokok disugesti bahwa dirinya tidak suka rokok. Pasien yang memang penakut disugesti bahwa dirinya berani. Akhirnya dalam pikiran pasien terdapat fantasi hasil sugesti dan setelah dihipnotis, pasien tidak bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan.
2. Hipnotis membuka “pintu hati” atau “pintu pikiran” kita kepada serangan kuasa kegelapan. Dalam hipnotis, bukan hanya ahli hipnotis yang akan mengubah sikap dan tingkah laku kita, tetapi Iblis pun mau mengubah diri kita sesuai dengan keinginannya. Dengan memberikan diri dihipnotis, kita berada dalam keadaan emosi yang tidak stabil, tidak aman, dan akan memberikan kesempatan kepada Iblis untuk menguasai diri kita. Hipnotis memberikan kemungkinan kerasukan setan (“The Dangers of Hypnosis”, 1963: 83).
3. Hipnotis bukanlah sains, melainkan merupakan bagian integral dari okultisme selama ribuan tahun (“Hypnosis: Medical, Scientific, or Occultic?”, 87]. Banyak teknik yang digunakan dalam hipnotis mirip dengan sistem mistik dan okultisme. Profesor psikiater, Thomas Szasz mengatakan bahwa hipnotis adalah “ilmu pengetahuan gadungan” (“The Myth of Psychotherapy”, 1978: 185-186]. Yoga, Zen, dan metode penyembuhan timur memiliki kesamaan mendasar dengan hipnotis dalam banyak aspek (“Hypnosis and Behavior Modification”: Imagery Conditioning, 1976: 412). Dan hal yang perlu diketahui mengenai yoga, tujuan utamanya adalah wihdatul wujud (kesatuan dengan Allah)
4. Hipnotis adalah pelanggaran terhadap hak Allah. Tidak seorang pun yang memiliki hak untuk menguasai pikiran dan kehendak seseorang. Hanya Allah dan orang itu sendiri yang memiliki hak untuk menguasai pikiran dan kehendaknya.
Oleh
Agus Sutikno, SH
MENJELAJAH DUNIA JIN
Alam jin adalah bagian dari alam ghaib, Alam yang tak tersentuh oleh panca indera manusia, karenanya perlu ada penjelasan yang akurat dari sumber terpercaya, yang bisa dijadikan rujukan oleh setiap muslim. Hingga tidak ada keraguan dalam meyakini keberadaannya yang merupakan bagian dari keimanan kepada yang ghaib (lihat QS. Al-Baqarah: 1-3).
Apalagi bila mencermati media massa –cetak atau elektronik- yang sangat gencar menyajikan informasi keghaiban tapi tidak disikapi secara Syari`at. Dan kalaupuan ada, terkadang tidak akurat bahkan melenceng dari aturan syari’at. Karena itu sudah seharusnya kita menjauhi media massa yang berbau mistik dan klenik yang tidak sesuai syari`at. Sebab tayangan seperti itu bisa mejadikan pemirsanya penakut dan paranoid, atau percaya pada mitos dan takhayyul, yang belum tentu benar.
Berikut ini beberapa prinsip Islam yang harus di ketahui agar saat kita menerima informasi tentang dunia jin, tidak melahirkan keyakinan yang salah dan menyimpang.
Prinsip Islam dalam Menjelajah Alam Jin:
1. Ikuti panduan Al-Qur’an dan as-Sunnah, jangan cari referensi sembarangan untuk menjelajah alam Jin agar tidak tersesat di jalan. Setiap informasi tentang alam Jin yang tidak bersumber dari keduanya harus kita tolak, apalagi info itu bertentangan dengan keduanya.
Kita tidak boleh mendahului ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah atau berseberangan dengan keduanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Wahai orang orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. al-Hujurat: 1).
2. Jin punya misi hidup yang sama dengan manusia. Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”. (QS. adz-Dzariat: 56).
3. Jin diciptakan dari percikan api yang sangat panas, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. “Dan dia (Allah) menciptakan jin dari percikan api neraka”. (QS. ar-Rahman:15).
4. Jin adalah ummat seperti halnya manusia, ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Mereka bertingkat tingkat, seperti yang dijelaskan oleh Allah, “Dan sesungguhnya di antara kami (Jin) ada yang sholeh dan di antara kami ada yang tidak demikian kami berbeda beda jalan hidup kami”. (QS. al-Jin:11).
5. Iblis adalah termasuk komunitas jin, karena ia membangkang perintah Allah maka disebut dengan Iblis. Ia bukanlah dari golongan malaikat. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah, “Dan ketika kami katakan kepada para malaikat bersujudlah kalian kepada Adam, maka bersujudlah mereka semua kecuali Iblis adalah dia dari golongan jin maka dia durhaka dari perintah tuhannya”. (QS. al-Kahfi: 50).
6. Jin bisa melihat wujud asli manusia sedangkan manusia tidak bisa melihat wujud asli jin, kecuali kalau dia menampakkan diri (berubah wujud). Seperti yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya dia (Iblis) dan bangsanya bisa melihat kalian wahai manusia dan kalian tak bisa melihat mereka”. (QS. al-A’raf: 27).
Rasulullah bersabda, “Jika kalian mendengar lolongan anjing atau ringkikan keledai di malam hari, maka berlindunglah kepada Allah. Karena mereka (hewan tersebut) melihat apa yang tidak bisa kalian lihat.” (HR. Abu Daud).
7. Syetan itu sifat. Syetan bukan sosok makhluk tersendiri, tapi hanyalah sifat dan sebutan bagi setiap pembangkang dari golongan jin dan manusia, dan sebagai musuh bagi setiap orang beriman. Terkadang Allah menyebut Iblis dalam al-Qur’an dengan sebutan syetan. Allah berfirman, “Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin”. (QS. al- An`am: 112).
8. Haram minta pertolongan kepada jin. Meminta pertolongan Jin atau kerjasama dengan mereka hukumnya haram, karena jin tidak akan pernah membantu manusia kecuali dengan imbalan. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya ada sekelompok laki laki dari manusia meminta pertolongan kepada laki laki dari kelompok jin maka bertambalah bagi mereka kesesatan”. (QS. al –Jin: 6).
9. Jaminan perlindungan dari Allah. Orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan syirik mereka mendapat jaminan perlindungan dari Allah dari kejahatan Jin. Al-Qur’an menyatakan, “Dan orang orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka akan mendapatkan keselamatan dan mereka itulah oarang orang yang di beri petunjuk”. (QS. al-An`am: 82).
10. Gangguan jin itu mushibah. Orang mukmin yang terkena gangguan jin berarti mushibah yang menjadi ujian dari Allah, maka kita harus membantunya dan jangan mencibir atau mengucilkannya. Gangguan jin pada seseorang itu seperti sakit medis (fisik) yang dialami seseorang. Jika Allah tidak menghendaki gangguan itu terjadi, maka tak akan terjadi. Jika Dia menghendaki, maka terjadilah. “Dan mereka (para tukang sihir) tidak bisa memberi madharat (bahaya) dengan sihirnya pada seorangpun kecuali dengan izin Allah.”. (QS. al-Baqarah: 102).
11. Kesurupan jin pada manusia itu benar adanya, bukan mitos atau takhayul. Jin bisa masuk dalam tubuh manusia dan mengalir dalam tubuhnya melalui aliran darah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah”. (HR. Muslim).
12. Gangguan jin pada manusia merupakan perbuatan zhalim. Gangguan jin terhadap manusia dengan masuk ke dalam jasadnya adalah tindakan zhalim yang harus di hentikan untuk keselamatan yang dizhalimi dan yang menzhalimi. Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang terzhalimi, para shahabat bertanya : ‘Ya Rasullallah bagaimana cara menolong orang yang menzhalimi?’ Jawab Beliau, “Hentikan ia dari perbuatan zhalimnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
13. Ruqyah syar’iyah solusi cerdas dan tepat serta aman. Jika kita atau orang lain diganggu Jin, obatilah dengan terapi ruqyah yang syar’iyah (sesuai tuntunan Rasulullah). Ruqyah syar’iyyah adalah terapi solutif yang tepat dan dijamin aman dari kesyirikan.
Alllah berpesan, “Dan jika kamu ditimpa suatu gangguan syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-A’raf: 200). ‘Aisyah ra. bercerita, ketika Rasulullah masuk rumahnya, saat itu dia sedang mengobati atau meruqyah seorang wanita. Maka beliau bersabda: ”Obatilah ia dengan al-Qur’an”. (Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).
14. Jihad dengan praktik Ruqyah syar’iyah. Terapi ruqyah syari`yyah adalah bagian dari jihad fi sabilillah, karena kita melawan para tukang sihir, para dukun sesat, serta melawan kejahatan musuh Allah, yaitu syetan atau jin zhalim. Maka jangan asal ruqyah, pastikan terapi ruqyah yang kita pilih adalah yang syar’iyah. Karena di luaran sana banyak praktik ruqyah syirik/ ruqyah syar’iyah gadungan. Mari kita dukung praktik ruqyah syar’iyah untuk mengikis bejibunnya praktik perdukunan yang marak di masyarakat.
Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah”. (QS. an-Nisa’: 76).
15. Jin makhluk ghaib tapi tidak mengetahui segala keghaiban. Jin walaupun masuk dalam kategori makhluk ghaib, tapi tidak serta merta mereka tahu segala yang ghaib. Mereka punya keterbatasan seperti halnya manusia. Jin mengakui sendiri akan kelemahan dan keterbatasan mereka tersebut seperti yang diberitakan Allah dalam al-Qur’an. “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi, ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka”.(QS. Al-Jin: 10).
Di ayat yang lain Allah menyatakan, “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, jin baru mengetahuinya. Kalau sekiranya mengetahui hal yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’: 14).
Penutup
Masalah ghaib tidak hanya seputar kehidupan jin dan syetan sebagaimana yang banyak diekspos oleh media massa akhir-akhir ini. Karena jin dan syetan hanya bagian kecil dari masalah keghaiban yang sangat luas cakupannya. Adanya Allah dan para malaikat-Nya, Surga dan neraka, kehidupan di alam barzakh, kebangkitan manusia di padang makhsyar adalah termasuk keghaiban yang tidak diketahui manusia atau jin, tapi harus dipercayai dan dijadikan sebagai pilar-pilar iman. Semua itu menjadi rahasia Allah dan Rasul yang telah diberi wahyu tentangnya.
Dan masih banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan kita, yang termasuk kategori ghaib karena tidak bisa kita indra dengan panca indra. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tiada suatu pun yang basah dan kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. al-An’am: 59).
Dalam ayat lain, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk meberitahukan kepada umatnya tentang ketidaktahuannya seputar yang ghaib, “Katakanlah, Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf: 188).
Maka dari itu, janganlah berbicara tentang hal yang ghaib bila tanpa dasar yang valid dan autentik, yaitu Syari’at Islam, termasuk berbicara seputar kehidupan jin dan syetan agar keimanan pada yang ghaib dan aqidah kita tidak salah.
Wallahu A’lam.
SELAMAT DATANG DI METAFISIKA CENTER
SELAMAT DATANG DI METAFISIKA CENTER
Written by K.H.Dr.Kharisudin Aqib,M.Ag.
Monday, 26 April 2010
Psiko-Sufistik Pendidikan Islam
Oleh; H. Kharisudin Aqib.
A. Jiwa dalam Pandangan Filsafat Tasawuf
Sebelum membahas tentang jiwa dalam pandangan tasawuf, perlu juga dibahas tentang filsafat kejadian manusia, walaupun mungkin hanya sekilas saja.
Kejadian manusia, menurut pandangan tasawuf sunni adalah karena qudrat dan iradat Allah.[1] Ia menjadikan manusia dari dua eksistensi yang berbeda, yaitu eksistensi dari ‘alam al – amri (alam perintah) , dan eksistensi dari alam al – khalqi (alam ciptaan).[2] Ada lima entitas yang berasal dari ‘alam al – amri, yang disebut latha’if (jama’ dari kata lathifah), yang berarti kelembutan. Yaitu lathifat al – akhfa, lathifat al-khafi, lathifat al-sirriy, lathifat al-ruhi, dan lathifat al – qalbi. Sedangkan yang berasal dari ‘alam al – khalqi ada lima entitas, yaitu satu lathifah dan empat anasir (jama’ dari unsur). Kelima entitas itu adalah lathifat al – nafsi, unsur api, unsur udara, unsur air dan unsur tanah.[3] Bahwa ruh manusia yang berasal dari alam perintah (‘alam al-amri) , dan jasad manusia berasal dari alam ciptaan (‘alam al-khalqi). Sedangkan jiwa adalah nama lain dari ruh yang lagi bersatu dengan badan. Sedangkan wujud dari jiwa dapat dilihat dari gejala-gejala yang ditimbulkannya yang berupa daya. Yaitu daya hidup, daya gerak, dan daya fikir.
[1]Qudrat dalam arti kemahakuasaan Allah dan iradat adalah kehendah mutlak Allah dengan tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Sehingga mencipta maupun tidak mencipta adalah termasuk sifat jaiz Allah. Inilah pokok – pokok aqidah ahl Sunnah wa al-jama’ah. Baca Abd. Malik al – Juwaini, Luma’ al – Adillah fi Qawaidi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah , t.p : Dar al – Mishriyah li Ta’lif wa Tarjamah, 1965 , h. 68, 83, 107 .
[2]Alam al-amri (alam perintah) adalah alam ruhaniyah. Term tersebut diambil dari firman Allah: “katakanlah ruh itu termasuk dari amr (perintah) Tuhanku“. Qs. Al – Isra’ (17) : 85. Sedangkan ‘Alam al – khalqi (alam ciptaan) adalah alam jasmaniyah. Term tersebut merujuk pada firman Allah : “ Kemudian kami kehendaki ia menjadi ciptaan yang lain, maka maha suci Allah yang telah memperbaiki semua ciptaan-Nya. “ Qs. Al-mukminun (23) : 14. Sedang keduanya merujuk dari Qs. Al – A’raf (7) : 54 .
[3]Muslikh Abd. Rahman, ‘Umdat al – Salik fi Khair al – Masalik (purworejo) : Pondok Pesantren Berjan, t.th. h. 43. Zamroji Saerozi, Al – Tadzkirat al – Nafi’ah, juz I , Pare : tp., tth. h. 8. M. Romli Tamim, Tsamrat al-Fikriyah Risalat fi Silsilat al – Thariqatain al Qadiriyah wa Naqsyabandiyah , Jombang : tp., t.th , h. 3.
Menurut Mir Valiudin, ternyata teori tersebut adalah termasuk di antara temuan besar Imam Rabbani al – mujadid alf al – tsani (Sang pembaharu milenium ke dua , yaitu Syekh Ahmad Faruqi Al–Sirhindi).[4] Informasi tentang ke-lima latha’if tersebut belum pernah disampaikan oleh para sufi sebelumnya, demikian juga komposisi lengkap struktur tubuh (jasmani dan rohani) manusia.[5] Dari teori ini pula penulis temukan filsafat jiwa yang sederhana tetapi sangat gamblang, rasional dan progresif.
Masih dalam kerangka teori filsafat kejadian manusianya Imam Rabbani, pandangan Islam tentang jiwa manusia ini dibangun. Pembahasan tentang jiwa (nafs) dipentingkan oleh para ahli tarekat, karena mereka memegangi ungkapan (yang diyakini sebagai bersandar kepada Rasulullah): “Barang siapa mengetahui nafs-nya (dirinya), maka ia mengetahui Tuhannya“.[6]
Dalam pandangan Islam jiwa (nafs), adalah kelembutan (lathifah) yang bersifat ke Tuhanan (rabbaniyah). Sebelum bersatu dengan badan jasmani manusia lathifah ini disebut dengan al-ruh, dan jiwa adalah ruh yang telah masuk dan bersatu dengan jasad yang menimbulkan potensi kesadaran (al-Idrak).[7] Jiwa yang diciptakan oleh Allah.
Sebelum bersatunya dengan jasad, ruh bersifat suci, bersih dan cenderung mendekat kepada Allah, mengetahui akan Tuhannya. Akan tetapi setelah ruh tersebut bersatu dengan jasad akhirnya ia melihat (mengetahui) yang selain Allah, dan oleh karena itu terhalanglah ia dari Allah karena sibuknya dengan yang selain Allah.[8] Itulah sebabnya sehingga ia perlu dididik, dilatih, dan dibersihkan agar dapat melihat, mengetahui dan berdekatan dengan Allah swt.[9]
Ruh yang masuk dan bersatu dengan jasad manusia memiliki lapisan-lapisan kelembutan (latha’if), sehingga dapat dikatakan bahwa tujuh lathifah yang ada pada diri manusia itu adalah al-nafs atau jiwa dalam istilah lain.[10] Jadi jiwa menurut pandangan Tarekat Qadiriyah wa Nagsyabandiyah memiliki tujuh lapis berdasarkan nilai dan tingkat kelembutannya. Yaitu :
- Nafs al-amara, Nafs al-lawwamah,Nafs al-mulhimah,Nafs al-muthmainnah, Nafs al-radliyah
- Nafs al-mardliyah, dan Nafs al-kamilah.[11]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ke tujuh lapis kelembutan jiwa tersebut adalah tingkatan kesadaran manusia sepenuhnya. Sedangkan lathifat pada tahapan selanjutnya dipakai sebagai istilah praktis yang berkonotasi tempat, lathifat al-nafsi sebagai tempatnya nafs al-amarah, lathifat al-qalbi sebagai tempatnya nafs al-lawwamah, lathifat al-ruhi sebagai tempatnya nafs al-mulhimah, dan seterusnya.[12]Semakin dekat kecenderungan seseorang dengan unsur jasmaniyah akan semakin jelek dan rendah nilai jiwanya, dan semakin jauh dari unsur jasmaniyah (materi) akan semakin baik dan suci. Karena berarti semakin dekat dengan unsur ilahiyah. Sehingga ada pengaruh antara keadaan kejiwaan dengan tabi’at,tingkah laku kondisi kesehatan fisik manusia.
1. Filsafat Manusia Sempurna.
Filsafat manusia sempurna (dalam pendidikan islami) adalah tergambarkan dalam pertumbuhan biologis manusia yang idial. Pendidikan adalah pembinaan pertumbuhan kepribadian manusia yang sempurna dan idial. Kepribadian manusia yang menggambarkan berfungsinya anatomi-anatomi biologis, dan spiritual yang sempurna.
Kepala tumbuh dan berkembang dengan fungsi yang sempurna sekaligus bentuk yang ideal. Badan (dada, perut, dan panggul) tumbuh dan berkembang dengan fungsi dan ukuran atau bentuk yang idial. Demikian juga leher, tangan dan kaki, sebagai anatomi dinamis untuk kehidupan manusia, tumbuh dan berkembang secara sempurna dan ideal.
Kepribadian spiritual sebagai hasil dari proses pendidikan tergambarkan sebagai manusia yang sempurna secara biologis tersebut dalam bentuk maknawinya. Ilmu pengetahuan yang dimiliki digambarkan dengan kepala, penghayatan keilmuannya digambarkan dengan badannya (khususnya dada), sedangkan pengamalan dan kecakapan mempraktekkan pengetahuannya digambarkan dengan leher, tangan dan kaki seseorang.
Kondisi baik-buruknya atas kompetensi seseorang dalam suatu keilmuan akan dapat digambarkan dengan bentuk badan maknawi seseorang. Sehingga dapat digambarkan bahwa output pendidikan yang diharapkan dalam filsafat pendidikan islami, adalah badan maknawi yang tampan atau cantik dengan postur tubuh yang ideal.
Kepala badan maknawi seseorang (pengetahuan) tidak melebihi dari besarnya badan maknawinya (penghayatan keilmuannya). Tetapi juga tidak boleh terlalu kecil sehingga tampak tidak indah. Demikian juga bentuk leher, tangan dan kakinya juga kokoh, tetapi lincah untuk dapat melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Ini menggambarkan akan kebiasaan dan ketrampilannya dalam melakukan dan mempraktekkan keilmuan yang dimilikinya.
Demikian juga halnya, kekurangan-kekurangan dalam hal keilmuan seseorang dan ketidakseimbangan penguasaan keilmuannya tergambarkan dalam bentuk badan maknawinya. Sedikitnya pengetahuan berarti kecilnya kepala, kurangnya penghayatan berarti kecilnya dada. Dan kurangnya pengamalan berarti ringkihnya tangan dan kaki. Atau mungkin penguasaan pengetahuan yang tidak imbang dengan penghayatannya, berarti postur yang terlalu besar kepala sedangkan badan dan tangan-kakinya terlalu kecil. Sebagaimana manusia karikatur. Dan inilah kebanyakan output pendidikan yang sedang kita saksikan.
1. Ajaran Tentang Hakekat Ilmu.
Hal yang sangat perlu diaktualisasikan dalam ajaran tasawuf pada dunia pendidikan modern adalah filsafat ilmu. Bahwa pandangan tasawuf terhadap ilmu jauh lebih mendalam dari pada pandangan kaum sekuler pada umumnya. Ilmu dalam pandangan tasawuf adalah cahaya suci. Karena ilmu adalah sifat dari Tuhan yang Maha Suci itu sendiri.
Pendidikan adalah suatu proses untuk mendapatkan ilmu yang suci tersebut. Oleh karena itu, maka prasyarat bagi seseorang yang ingin mendapatkan hakekat ilmu (ilmu apa saja), haruslah menjaga kesucian aspek afeksi dari dirinya.Yakni aspek sebagai wadah rahasia (spirit) ilmu. Dia harus membersihkan diri dari dorongan–dorongan nafsu materialistis dan hedonisme yang mengotori jiwa atau hati sebagai wadah dari ilmu sirr (hakekat) ilmu.
Di samping ajaran tentang hakekat ilmu dan cara mendapatkan ilmu, maka aktualisasi dan sosialisasi ajaran tasawuf seperti; zuhud, berdo’a, rajin ibadah dan puasa sebagai suatu tehnik untuk memperoleh ilmu yang bermanfa’at dan barokah adalah sangat diperlukan dalam dunia pendidikan modern yang cenderung hedonistik dan materialistik. Suatu filsafat hidup yang jelas-jelas telah melahirkan banyak ilmuwan yang pada hakekatnya tidak konstruktif terhadap perbaikan peradaban umat manusia, bahkan cenderung menjadi sebab kehancuran peradaban sebagaimana yang sedang kita saksikan.Manusia hedunistik juga memberikan pandangan yang serba fisikal tentang kecerdasan, sebagaimana yang telah dipegangi oleh masyarakat pada umumnya.
Cerdas adalah kelebihan seseorang dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup jika dilihat dari rata-rata kemampuan orang lain yang berada pada satu tingkatan umur jasmaniyah atau tingkat pendidikannya. Sedangkan kecerdasan secara umum adalah suatu daya dan tingkat kemampuan seseorang dalam belajar (membaca, menganalisa dan merekontruksi) dan mencipta. Walaupun ini sebenarnya adalah sebagian dari ragam kecerdasan, yakni pada sisi intelegensi saja.
Sementara sisi yang lain belum terdefinisikan dalam pemahaman umum tentang kecerdasan. Orang yang dikatakan cerdas secara umum hanyalah mereka yang secara intelektual memiliki ketajaman dan kepekaan yang lebih baik, di atas rata-rata orang sekelas atau seumurnya. Padahal ketajaman dan kepekaan itu juga terdapat pada sisi emosi dan juga spirit, sehingga menurut Ari Gynanjar pada diri manusia terdapat ketiga kecerdasan tersebut, yakni intelgensi (IQ), emosi (EQ), dan Spiritual (SQ).
Manusia tidak dapat hanya menggantungkan diri pada satu sisi kecerdasannya, misalnya kecerdasan inteljensinya. Atau kecerdasan emosi atau juga spiritualnya saja. Pengetahuan terakhir menyatakan, bahwa kecerdasan yang dapat diukur dan memiliki arti penting dalam kesuksesan hidup dan kebahagian manusia di dunia maupun di akhirat adalah bersifat majemuk (multiple intelligence). sebagaimana penelitian Howard Gardner (Prof. Pendidikan Havard). [13] sementara itu para praktisi spiritual (para sufi), mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual adalah tingkat kepekaan seseorang dalam memahami dan menghayati hakekat di balik segala peristiwa, dan hubunganya dengan Sang Maha Pencipta, holisitas alam semesta.
E. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah filsafat tentang masalah-masalah kependidikan. Menurut filosof Amerika, John Dewey, pendidikan adalah sebuah proses pembentukan watak dasar, intelektual, dan emosi yang berkaitan d engan alam berikut manusianya [14] Dilihat dari aspek-aspek pendidikan, dakwah Nabi Muhammad saw, merupakan sebuah sistem pendidikan yang memiliki unsur-unsur sistem pendidikan.
Bentuk yang lebih sempit dari sebuah sistem pendidikan adalah pengajaran atau proses belajar mengajar. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung harus ada tiga hal pokok dalam sebuah sistem pengajaran, yaitu : materi pelajaran, yang belajar (pelajar), dan yang mengajar (pengajar).[15] Di dalam dakwah Nabi Muhammad, ada Nabi yang berperan sebagai pendidik, pengikut atau para sahabat sebagai siswa, dan ilmu keislaman merupakan materi pelajarannya.[16] Di dalamnya juga ada metode, teknik dan tujuan sebagaimana sebuah pendidikan yang berstruktur. bahkan di dalamnya juga ada adab sebagai tata tertib.
Pada hakikatnya pendidikan dalam Agama Islam adalah pendidikan jiwa. Umat Islam berkeyakinan, bahwa hakikat manusia adalah jiwanya. Dialah raja dalam tubuhnya. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh anggota tubuhnya adalah atas perintah jiwanya, kalau jiwanya jahat maka jeleklah perbuatan yang dilakukan oleh anggota tubuhnya, demikian pula sebaliknya.[17] Dengan demikian, maka mendidik jiwa berarti telah mendidik hakikat manusia, dan akan berdampak pada seluruh totalitas kemanusiaannya.Itulah jiwa dan itulah ranah afeksi.
Ranah afeksi sebagai bagian penting dalam sebuah sistem pendidikan, sangat perlu digalakkan. .Orang sering cenderung lupa, bahwa alat untuk dapat menguasai ilmu adalah tiga alat. Yaitu; otak, hati dan anggota badan. Otak sebagai alat untuk menampung dan mengolah data ilmu. Hati adalah alat untuk menampung dan mengolah spirit ilmu, dan anggota badan alat untuk melatih dan mempraktekkan ilmu.
Ranah afeksi juga harus dibina agar tumbuh dan berkembang sebagaimana ranak kognesi, bahkan harus lebih diutamakan. Karean target pertumbuhannya harus dapat lebih besar dari pada pertumbuhan otak sebagai hardware ranah konetif. Dan bahkan ketiga-tiganya (afeksi,kognesi, dan psikomotor), harus tumbuh dan berkembangsecara proposional.
Prinsip-prinsip filsafat pendidikan Islam, pada dasarnya adalah bagian dari kajian tasawuf, di dalam tradisi tasawuf, pendidikan dapat dilaksanakan melalui dua model, yaitu; tarbiyah (pendidikan umum), dan riyadloh (latihan kejiwaan) atau pendidikan khusus,yaitu :
1. Tarbiyah
Filosofi pendidikan dalam Islam, yang lebih tepat disebut sebagai tarbiyah atau pendidikan adalah juga apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah dalam membina sahabat-sahabatnya sehingga berhasil membentuk kader-kader pejuang yang paripurna, berakhlak mulia, cerdas dan terampil dalam membangun peradaban manusia modern. Yakni dengan adanya unsur tehnis yang disebut dengan ta’lim (pengajaran), ta’dib (pembiasaan) dan irsyad (bimbingan).
Ta’lim atau pengajaran adalah pemberian materi pelajaran untuk memberikan bekal pengetahuan yang bersifat kognitif. Baik yang bersifat, keimanan, peribadatan, etika maupun hikmah dan kearifan dalam kehidupan.Dalam pendidikan Nabi ta’lim ini terus menerus diberikan dalam bentuk halaqah (lingkaran studi) yang selalu diselenggarakan di setiap selesai menunaikan jama’ah sholat atau di waktu-waktu luang.
Ta’dib atau pembiasaan adalah bagian dari pendidikan yang sangat penting. Ta’dib adalah pembiasaan yang diterapkan kepada peserta didik yang belum memiliki kesadaran untuk memperbaiki diri. Dan ta’dib ini berfungsi untuk mengasah aspek psikomotorik murid. Dalam pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulullah, ta’dib diselenggarakan dalam dukungan uswah (percontohan) dari Nabi, imarah (perintah dan larangan), serta adanya sistem reward and punishment (hadiah / pahala dan hukuman / siksa). Atau tabsyir dan tandhir.
Irsyad atau bimbingan. adalah bagian dari pendidikan yang lebih terkait dengan aspek afektif dan psikomotorik.Bimbingan diberikan kepada murid yang telah mulai memiliki kesadaran untuk memperbaiki diri, tetapi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Maka mursyid atau pembimbing harus dengan senang hati, simpatik dan empatik memberikan bimbingan, dan tentu dengan sabar dan telaten. Dan tarbiyah merupakan integrasi dan akumulasi yang aktif atas ketiga metode pengajaran tersebut.
2. Riyadlotun Nafsi
Dari sisi Riyadat al-nafs, pendidikan dalam tradisi Islam (tasawuf) ini mengikuti filsafat kimiya’ al-sa’adat sebagaimana umumnya mazhab-mazhab tasawuf. [18] Filsafat ini mendasarkan teorinya pada prinsip peleburan logam. Bahwa jiwa adalah ibarat biji logam, atau batu permata. Ia merupakan bahan baku yang masih perlu dilebur, dibentuk dan dibersihkan. Untuk menjadikan logam sebagai sebuah perhiasan yang berharga harus dilebur dengan bahan kimia atau dengan panas (suhu) yang tinggi. Dan dalam waktu yang lama, membutuhkan seorang pengerajin yang ahli dan telaten (sabar), serta memiliki seni yang tinggi.[19]
Untuk menjadikan jiwa yang baik dan bernilai tinggi, jiwa perlu dilebur dengan bahan kimia atau dipanaskan dengan api, sehingga kotoran, dan karat-karatnya terlepas. Maka tampaklah kecemerlangan logam mulia (emas), karena karat dan kotorannya telah hilang. Tetapi ia masih perlu ditempa dan dibentuk sesuai dengan keinginan pengerajinnya, yaitu mursyid. Dan selanjutnya harus selalu dibersihkan agar senantiasa cemerlang.[20]
Proses peleburan dan pembentukan jiwa ini melalui usaha keras (mujahadah) yang kontinu yang disebut dengan riyadat al-nafs. Riyadat al-nafs sebagai sebuah metode memiliki dua proses, yaitu takhalli, dan tahalli .[21] Dalam takhalli seorang murid harus menempa jiwanya dengan prilaku-prilaku yang dapat membersihkan, dan meleburkan jiwa. Ia harus terus menerus melakukan d’zikir setiap waktu. Sebagaimana yang diajarkan oleh guru pembimbing spiritualnya.[22] Dalam proses takhalliyat, seorang murid juga harus senantiasa bersikap zuhud (tidak materialis), wara’ (senantiasa berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah), tawadlu’ (merendahkan diri dan tidak takabbur), dan ikhlas (senantiasa memurnikan motivasi dan orientasi) hanya kepada Allah.[23]
Proses takhalliyat dalam al-kimiya’ al-sa’adat tersebut merupakan proses peleburan jiwa.[24] Membersihkan jiwa dari sifat-sifat jelek hayawani dan syaitani. Semakin intensif seorang murid melaksanakan proses takhalliyat akan semakin panas badan ruhaniyah. Dan dengan panasnya d’zikr dan riyadat al-nafs yang lain tersebut, kotoran-kotoran jiwa akan leleh terbakar, karat-karat jiwa akan terlepas sedikit demi sedikit. Maka akhirnya lapisan paling luar dari jiwa akan terkelupas. Begitu seterusnya akhirnya yang tinggal hanyalah inti jiwa yang paling dalam.[25]
Dalam upaya takhliyah, prilaku fisikal yang biasanya harus dilakukan adalah taqlilut tho’am (menyedikitkan makan), taqlilun niyam (menyedikitkan tidur), dan taqlilul kalam (menyedikitkan ngomong).
Sedangkan proses tahliyat (penghiyasan), merupakan proses pembentukan jiwa, karena itu ia lebih bernilai sebagai kelanjutan dari proses takhalliyat (pengosongan dari sifat-sifat buruk).[26] Jika seorang murid telah melaksanakan, maka ia akan mudah melaksanakan tahalliyat. Tahliyat ialah merupakan proses penghiasan diri (jiwa) dengan amalan-amalan shaleh. Secara umum melaksanakan syari’at agama adalah proses takhalliyat dan tahliyat sekaligus. Sedangkan yang dimaksud dengan tahliyat di sini adalah amalan-amalan sunnah. Seperti;memperbanyak membaca Al-qur’an, memperbanyak shalat sunnah, memperbanyak tafakkur di waktu sahur.[27] Demikian juga menjaga kesucian dan adab serta akhlaq merupakan proses tahliyat yang sangat utama. Kesucian dan akhlaq mulia merupakan intinya imam, seperti sabda Nabi :
الطهور شطر الايمان.
“Kesucian adalah setengahnya iman”. (H.R. Muslim).[28]
1. Ajaran Psikologi dan Etika Pendidikan
Pandangan tasawuf yang tidak kalah pentingnya untuk diaktualisasikan pada dunia pendidikan modern ini adalah masalah psikologis. Yaitu psikologi dalam proses transmisi keilmuan, antara guru dan murid, sebagai suatu yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang untuk dapat menguasasi ilmu (kompeten). Kompeten dalam arti penguasaan yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Artinya dengan pengetahuannya, orang tersebut dapat menghayati dengan baik dan dapat mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang murid harus menjaga kondisi psikologis dirinya dan psikologis gurunya. Dia harus mempersepsikan gurunya dengan baik mencintai dan mengagungkan, serta senantiasa berprasangka baik dengan gurunya , dan menjaga persepsi guru terhadap dirinya supaya baik. Karena menejemen persepsi komunikasi psikologis antara guru dan murid adalah menejemen transmisi keilmuan dalam aspek afektif. Dan ilmu yang dapat masuk pada ranah afeksi inilah yang akan berdampak pada aktual atau tidaknya ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan dasar pemikiran inilah maka, adab (tatakrama /etika guru-murid) sangat penting untuk diaktualisasikan dalam dunia pendidikan modern. Seperti; hormat (merendahkan diri di hadapan guru), ta’dhim (menjunjung tinggi martabat guru), dan khidmah (melayani kepentingan guru) murid terhadap guru. Demikian juga motifasi dan spirit transfer ilmu guru kepada murid, dengan niat yang tulus dan do’a-do’a yang baik harus senantiasa mengalir kepada murid. Dengan rasa sayang yang tulus terhadap murid maka ilmu guru akan dapat ditangkap dengan baik oleh afeksi murid.
G. Etika Guru-Murid
Adab kepada Guru (syekh), merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam pendidikan islami, bahkan merupakan syarat dalam riyadlah seorang murid. Adab atau etika antara murid dengan Gurunya diatur sedemikian rupa, sehingga menyerupai adab para sahabat dengan Nabi Muhammad saw. Hal yang sedemikian ini karena diyakini bahwa hubungan (mu’asyarah) antara murid dan Guru adalah melestarikan tradisi (sunnah) yang terjadi pada masa Nabi.[29] Dan kedudukan murid menempati peran sahabat, dan Guru menggantikan peran Nabi, dalam hal bimbingan (irsyad) dan pengajaran (ta’lim).
Menjaga etika antara guru-murid ini dapat dianalogkan dengan mengisi air. Jiwa guru sebagai wadah ilmu (ibarat air), sedangkan jiwa murid adalah wadah air orang yang ingin mendapatkan air. Maka menjaga etika adalah mengatur posisi wadah airnya guru (perasaan dan hati guru) dan wadah airnya murid (jiwa dan hati murid) yang dikenal dengan istilah afeksi, agar jiwa murid dapat terisi ilmu dari jiwa guru.
Adab kepada Guru ini tersimpul dalam rasa cinta seorang murid kepada Gurunya, dengan sebenar-benarnya cinta.[30] Cinta berarti dorongan untuk bersatu atau mendekat, benci berarti dorongan menjauh. Hormat dan ta’dhim berarti meninggikan posisi guru sebagai wadah ilmu, sedangkan meremehkan berarti merendahkan posisi wadah ilmu tersebut.
Di antara kitab pegangan murid Tarekat Qadriyah wa Naqyabandiyah ada yang menyebutkan secara rinci tentang adab seorang murid kepada gurunya. Adab tersebut dirumuskan secara terperinci dalam sepuluh point, yaitu :
1). Seorang murid harus memiliki keyakinan, bahwa maksud dan tujuan suluknya tidak mungkin berhasil tanpa perantaraan gurunya. Karena jika seorang murid merasa bimbang dan ingin berpindah kepada guru lain, maka hal tersebut menjadi sebabnya hirman (terhijab) oleh nur gurunya tersebut, yang menghalangi sampainya pancaran berkah (al-fayd al-rahmani). Hal ini bisa tidak terjadi kalau kepindahan murid kepada guru yang lain itu atas izin yang Jelas (sharih) dari gurunya yang semula. Atau jika guru yang pertama ternyata syari’at atau tarekatnya batal, dalam arti tidak cocok dengan syari’atnya Rasulullah. Jika keadaannya memang demikian, maka seorang murid harus pindah kapada guru yang lebih sempurna dan lebih zuhud, lebih wara’ dan lebih luas ilmu syari’at dan tarekatnya. Di samping itu harus dicari yang lebih selamat hatinya dari sifat tercela. Lagi pula ia memang seorang guru yang mendapat izin (bai’at) sebagai guru dari guru sebelumnya.
2). Seorang murid harus pasrah, menurut dan mengikuti bimbingan guru dengan rela hati. Ia juga harus melayani (khidmat) guru dengan rasa senang, rela dan lkhlas hatinya hanya karena Allah. Karena jauhar-nya iradah (kehendak) dan mahabbah (kecintaan) itu tidak dapat jelas kecuali menurut, patuh dan khidmat (mengabdi).
3). Jika seorang murid berbeda paham (pendapat) dengan guru, baik dalam masalah kuliyyah (Universal) maupun juz’iyyah (sektoral) , masalah ibadah maupun adat, maka murid harus mutlak mengalah dan menuruti pendapat gurunya karena menentang (i’tiradl) guru itu menghalangi berkah dan menjadi sebab akhir hayat yang tidak baik (su’ul khatimah).
Na’udzu billah min dzalik. Kecuali jika guru memberikan kelonggaran kepada murid untuk menentukan pilihannya sendiri.
4). Murid harus berlari dari semua hal yang dibenci gurunya dan turut membenci apa yang dibenci gurunya.
5). Jangan tergesa-gesa memberikan atau mengambil kesimpulan (ta’bir) atas masalah-masalah seperti: impian, dan isyarat-isyarat, walaupun ia lebih ahli dari gurunya dalam hal itu. Akan tetapi sampaikan hal itu kepada guru dan jangan meminta jawaban. Tunggu saja jawabannya pada waktu yang lain dan kalau tidak dijawab maka diamlah. Yakinlah diamnya guru karena ada hikmah. Dan apabila murid ditanya guru, atau diperintahkan menerangkan sesuatu, maka ia harus menjawab seperlunya.
6). Merendahkan suara di majelis gurunya dan jangan memperbanyak bicara dan tanya jawab dengan gurunya, karena semua itu akan menjadi sebabnya mahjub (tertutup hatinya).
7). Kalau berniat menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu. Jangan menghadap guru dalam waktu sibuk, atau dalam waktu istirahat. Dan kalau sudah menghadap, jangan bicara sesuatu kecuali yang menyenangkan hati guru serta harus tetap menjaga kesopanan (khudlu’ dan tawadlu’), jangan memandang ke atas, melihat kanan-kiri, atau bicara dengan teman. Tetapi menghadaplah dengan penuh perhatian terhadap perkataan guru. Karena jeleknya tatakrama (su’ul adab) kepada guru bisa menjadikan tertutup (hirman) dari pencerahan (futuh). Dan jangan lama-lama berhadap-hadapan dengan guru tetapi sekedar perlunya kemudian segera memohon diri, kecuali jika dicegah oleh guru, maka juga harus menurut.
8). Jangan menyembunyikan rahasia di hadapan guru, tentang kata hati, impian, kasyaf (pandangan indra ke enam) maupun keluarbiasaan (karamah)-nya. Katakanlah dengan terus terang.
9). Murid tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali sekedar yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara. Dan itupun perkataan-perkataan yang diizinkan untuk disebar luaskan.
10). Jangan menggunjing, mengolok-olok, mengumpat memelototi, mengkritik dan menyebarluaskan aib guru kepada orang lain. Dan murid tidak boleh marah ketika maksud dan tujuannya dihalangi oleh guru. Murid harus yakin, guru meghalangi karena ada hikmah,dan bila diperintah guru harus berangkat walaupun terasa berat menurut perhitungan nafsunya.
Apabila murid mempunyai keperluan dengan guru, jangan sekali-kali berkirim surat, atau menyuruh orang lain. Tetapi datanglah dengan menghadap sendiri, dan berkatalah yang menyenangkan guru. Dan jika murid menghendaki kedatangan guru ditempatnya (murid), jangan sekali-kali memaksa, tetapi mintalah kelonggarannya. Walaupun mungkin secara fisik guru tidak dapat datang, yakinlah bahwa rohani guru, atau do’a restunya bisa datang ke tempat murid.
Jangan sekali-kali murid berkata : “Pak guru fulan itu dulu guru saya, tetapi sekarang bukan, karena saya sekarang tidak mengaji dan belajar kepadanya. “dan adalah bodoh kwadrat jika ada seorang murid berkata: “Makanya saya berani dengan guru, karena memang dia yang salah kepadaku.” Demikian juga kalau sedang mengikuti majelisnya guru, janganlah sampai keluar atau pulang sebelum waktunya. Tetapi jangan bikin gaduh (taswis) atau memperbanyak pertanyaan kepada guru. Tetapi diam dan perhatikan semua perkataan guru, dan terima isyarat-isyarat guru dengan hati yang ikhlas karena Allah. Dan hati harus dipenuhi dengan rasa senang kepada guru beserta keluarganya.
Dan jika guru dipanggil oleh Allah (wafat), maka sebaiknya jangan mengawini bekas isterinya. Akan tetapi murid bisa mengawini anaknya, dengan niat khidmah. Dan anggaplah putra-puri guru sebagai saudara sendiri (dalam hal hormat dan kasih sayang). Karena sesungguhnya guru itu adalah bapak spiritual. Sedang bapak sendiri adalah bapak jasmani.[31]
[4]Ahmad Faruqi al – Shirhindi adalah seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah di India (w.1624 M). Tarekat Naqsyabandiyyah yang berada di bawah kemursyidannya kemudian disebut dengan Nasyabandiyyah Mujaddidiyah. Baca Martin Van Bruinnesen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia , Bandung : Mizan, 1995 , h. 55. Mir Valiudin, Contemplative Disciplines in Sufism diterjemahkan oleh MS. Nasrullah dengan judul Dzikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf , Jakarta : Pustaka Hidayah, 1996 , h. 140.
[5]Ibid ., h. 141. Tentang beberapa lathaif menurut beberapa sufi dapat dibaca pada Shigeru Kamada, A. Studi of the Term Sirr (Secrets) in Sufi Lathaif Theories, diterjemahkan oleh MS. Nasrullah dengan judul “ Telaah Istilah Sirr (Rahasia) - dalam teori – teori lathaif Sufi, dalam al – Hikmah : Jurnal Studi – studi Islam , Bandung : Yayasan Mutahhari, vol VI/1995, h. 57 – 77.
[6]M. Amin al – Kurdi, loc.cit. h. 408.
[7]Penjelasan KH. Zamroji Saerozi, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Kediri Jatim. Wawancara, Kediri tanggal 23 Juli 1996. Muh. Amin al-Kurdi, ibid., Mutawali al-Sya’rani, Nihayat al-A’lam, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Farudin dengan judul Rahasia Allah di Balik Hakikat Alam Semesta , Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, h. 28.
[8]M. Amin al-Kurdi, loc. cit.
[9]Pendidikan dan pelatihan jiwa ini juga biasa disebut dengan Tazkiyat al-nafsi atau tashfiyat al-qalbi (membersihkan hati). Abd. Barro’ Sa’ad ibn Muhammad al-Takhisi, Tazkiyat al-Nafsi, diterjemah oleh Muqimudin Sholeh dengan Judul Tazkiyatun Nafsi ,Solo:CV. Pustaka Mantiq, 1996, h. 27.
[10]Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa, perbedaan antara ruh dan nafs hanya menyangkut sifat-sifatnya bukan zatnya, Syamsudin Abi Abdillah Ibn Qayyim al-Jauziyah, Al-Ruh fi al-Kalam ala Arwah al-Amwat wa al-Ahya’ , Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992, h. 296.
[11]Nama-nama jiwa ini diberikan berdasarkan sifat-sifatnya, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’, op.cit., h. 4.
[12]Bertempat lathifat yang bersifat immaterial ke dalam badan badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena “kuasa” Allah. Allah menciptakan “kendaraan” media bereksistensi bagi ruh dalam diri manusia berupa “ruh kimiawi” atau biolistrik yang oleh al-Dahlawi disebut dengan Nasamah dan ia bersifat barzakhiyah, Syekh Waliyullah Abd. Rahim al-Dahlawi, Hujjat Allah al-Balighah, Jilid I , t.d., h. 38-40.
[13] Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, antara Neurosains dan Al-Qur’an,Bandung,Pustaka Mizan, 2005, h.94.
[14] John Dewey, Democracy and Education dikutip oleh Khursyid Ahmad, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam (Surabaya: Pustaka Progressif, 1992), h. 15. Baca H.M. Arifin, Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 1,3.
[15] Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 313.
[16] Ilmu tarekat adalah ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui hal ihwal jiwa dan sifat-sifatnya. Mana yang jelek menurut syari’at supaya dijauhi dan mana yang terpuji menurut syara’ untuk dilaksanakan, serta membahas bagaimana cara membersihkan jiwa, hati, dan ruh dari kotoran dan penyakit-penyakitnya. Muslikh Abd. Rahman, al-Futuhat, op. cit., h. 45. Zamroji Saerozi, al-Tazkirat, op. cit, 14. Mir Valiuddin, op. cit, h. 21.
[17] Lihat Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, kimiya’, op. cit., h. 112.
[18] Kimiya’ al-sa’adat dijadikan judul buku oleh Imam al-ghazali dengan pengertian prinsip-prinsip alamiah yang berlaku pada jiwa. Baca Abu Ahmid Muhammad al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa’adat dicetak bersama al-Munqid min al-dalal, op. cit., h. 104-133.
[19] Titus Berckhrardt, An Introduction to sufi Doctrin diterjemahkan oleh Azyumardi Azra dengan judul Mengenal Ajaran Kaum Sufi (Jakarta : Dunia Pustaka, 1984), h. 122-123.
[20] Pemahman terhadap jiwa yang demikian ini sejlan dengan filsafat materialism dalam pendidikan, yaitu filsafat yang berpandangan bahwa jiwa dapat turun kedudukannya sebagaimana benda-benda material. Di dalam jiwa terdapat kekuatan ekspresif yang bersifat alamiah seperti panas, dingin, kebasahan dan kekeringan. Serta ada juga keadaan yang dapat membentuk fungsi belerang dan air raksa dalam jiwa. Sementara yang menggebu dalam jiwa berkaitan dengan kutub aktif yang sama dengan belerang, sedangkan semngat yang bertentangan dan semangat pelaratan yang “basah” berhubungan dengan kutub pasif yang disebut air raksa dalam kimia. Proses pembentukan jiwa riyadat al-nafs dengan anologi proses kimiawi dapat dibaca dalam, Titus Bucchardt, op. ,cit. h. 122-126.
[21] Takhalli adalah proses pembersihan, tahalli proses penghiasan dan tajalli merupakan tahpan sebagai hasil dari proses tersebut. Tajalli adalah penampkan Tuhan dalam hati seseorang hamba yang telah cemerlang karena proses takhalli dan tahalli. Penjelasan KH. Maky Maksoem, wawancara Jombang, 29 Juli 1996. Dapat pula dilihat dalam Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 74-89. Ketiga tahapan dalam mencapai tajalliyat Allah atau ma’rifat Allah tersebut ada kesamaannya dengan tradisi gnotisisme, pada umumnya, yaitu purgative, contemplative dan iluminitive. Baca Simuh, Sufisme Jawa: Transpormasi tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yokayakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995), h. 40-43.
[22] Baca praktek zikir pada bab V.
[23] Dalam proses takhalliyat amalan lebih ditekankan pada aspek akhlaq dan menjaga kesucian lahir batin, yang menurut merode suluknya al-Hakim al-Tirmizi terdiri dari tiga akhlaq utama, yaitu : kebenaran anggota tubuh, keadilan hati, kejujuran akal. Baca dalam al-Jayashi M. Ibrahim, al-Hakim al-Tirmizi Muhammad Ibn Ali al-Tirmizi, Dirasat fi Asarihi wa Afkarihi (Kairo: Dar al-Nahdat al-Arabiyah, t.th.), h. 325. Mustafa Zahri, op. cit., h. 74-81.
[24] Analogi yang lain untuk penempaan jiwa adalah dimensi psikoterapi, yang menggambarkan proses takhalliyat sebagai pembersihan jiwa dan proses tahalliyat sebagai pengobatannya. Walaupun tujuan akhir dari psikoterapi dalam arti umum berbeda dengan psikoterapi kaum sufi, tetapi keduanya memiliki proses searah dan objek yang sama. Baca Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islam (Yokyakrta : Insan al-Kamil Pustaka Pelajar, 1995), h. 130-131.
[25] Prinsip interiorisasi jiwa dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, menggambarkan bahwa semakin ke dalam kesadaran jiwa akan semakin suci bersih, dan cemerlang untuk dapat memantulkan hakikat segala sesuatu (lihat gambar). Al- Ghazali menggambarkan seperti cermin, sehingga semakin bersih cermin hati seseorang akan semakin jelas gambar yang tampak di dalamnya bahkan apa yang akan dalam lauh mahfuzpun akan tampak di dalam hati ini. Lihat al-Ghazali, al-Kimiya’, op. cit., h. 124.
[26] Itulah sebabnya sehingga orang awampun banyak yang menggapai kehidupan kesufian dengan melalui tarekat. Dalam terekat yang diajarkan langsung praktek takhaliyat yang berupa dzikir. Sehingga dengan asarnya dzikr tersebut murid dapat membersihkan jiwanya lebih mudah. Dan dzikr ini harus diterima secara mutalaqqiyan. Sahibuddin, Metode mempelajari ilmu Ilmu Tasawuf Menurut Ulama Sufi (Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 37.
[27] Lima hal ini adalah obatnya hati yang sangat uatma. Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’ (Surabaya: Sahabat Ilmu, t. th.),
[28] Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 124.
[29] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, diterjemahkan oleh S. Djoko Damono, dkk, dengan judul Dimennsi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 104. 242
[30] Abd. Wahab al-Sya’rani, op. cit., h. 114
[31] Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat, op. cit., h. 33-39. Bandingkan dengan Abd. Qadir al-Jailani, op. cit., h. 164 – 168.
Langgan: Entri (Atom)
PENGIKUT
ARSIP BLOG
- ▼ 2010 (19)
- ▼ Mei (19)
- PUSAT KONSULTASI METAFISIKA
- PROGRAM KECERDASAN UNTUK ANAK
- METAFISIKA WAHDATUL WUJUD
- HAKIKAT SYIRIK
- 7 TITIK CAKRA UTAMA
- DEFINISI AURA
- HAKIKAT TENAGA DALAM
- 7 TITIK CAKRA MAYOR
- HAKIKAT PRANA ALAM
- SEBUAH KESADARAN YANG TIADA TARA NILAINYA
- SELAMAT DATANG DI METAFISIKA CENTER
- MENJELAJAH DUNIA JIN
- BAHAYA HIPNOTISME
- HAKIKAT BENDA KERAMAT
- Membedakan magis dan ilmu pengetahuan
- RENUNGAN TAUHID
- RENUNGAN FITHRAH MANUSIA
- Istilah Istilah Dalam Tenaga Dalam
- Menghadirkan Roh Roh
- ▼ Mei (19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar